jumlah pengunjung blog

jumlah pengunjung blog

google translet

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Laman

Senin, 22 Agustus 2011

askep bunuh diri

Diposting oleh Amel_Lia


Kegawatdaruratan Psikiatri
Masalah : Bunuh Diri / Percobaan Bunuh Diri / Suicide

1.      Definisi
Definisi bunuh diri / suicide (percobaan bunuh diri), dari bahasa latin: “ tentamen suicide”, dari bahasa Inggris “suicide attempt”.
Percobaan bunuh diri ialah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan disengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu sangat singkat. Secara umum didefinisikan yaitu percobaan bunuh diri ialah segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu yang sangat singkat (Maramis, 1998: 431).
Clinton dalam Mental Health Nursing Practice (1995: 262) menyebutkan suatu uapaya yang didasari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati dan perilaku bunuh diri meliputi isyarat – isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.
Taylor dalam Fundamental of Nursing (1997: 790) mengutip dari Ana (1990) menyebutkan bunuh diri secara tradisional dipahami sebagai kegiatan mengakhiri kehidupan. Bantuan dalam bunuh diri sangat berarti, misalnya menyediakan obat atau senjata, bunuh diri dibantu (euthanasia pasif) dibedakan dengan euthanasia aktif . Bunuh diri yang dibantu adalah seseorang membantu mengakhiri hidupnya tetapi tidak secara langsung menjadi pelaku dalam kematiannya.
Stuart Sundeen dalam Principle Psychiatric Nursing (1995: 866) menyebutkan bunuh diri adalah menimbulkan kematian sendiri, suicide attempt (upaya bunuh diri) dengan sengaja melakukan kegiatan tersebut, bila kegiatan tersebut sampai tuntas akan menyebabkan kematian.
Suicide Gesture (Isyarat Bunuh Diri)
Adalah bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi orang lain.
Suicide Threat (Ancaman Bunuh Diri)
Adalah suatu peringatan baik secara langsung atau tak langsung, verbal atau non verbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri.


2.      Prevalensi
Dalam tahun – tahun terakhir ini, angka bunuh diri di Amerika yang terjadi pada usia 12 – 20 tahun mengalami peningkatan dan 12000 anak – anak dan remaja tiap tahunnya dirawat di Rumah Sakit akibat upaya bunuh diri dan metode bunuh diri yang paling disukai adalah menggunakan senjata api, ada juga dengan gantung diri dan minum racun, dalam waktu setiap 90 menit seorang anak meninggal akibat bunuh diri.
Bunuh diri ditemukan dari berbagai kalangan sosial ekonomi, namun paling dominan kalangan atas. Pada jenis kelamin pria melakukan bunuh diri secara efektif (tidak mengharapkan hidup lagi), sedangkan pada wanita kesempatan hidup masih ada (karena wanita memberi peluang untuk diselamatkan). Bahkan di benua Asia Harakiri dilakukan demi suatu kehormatan.
Di Indonesia bunuh diri, akhir zaman ini menimpa orang dewasa dan anak – anak. Prayitno, kasus bunuh diri di Indonesia (RSCM Jakarta) terdapat 1.119 kasus bunuh diri tahun 2004 – 2005 dan 41% dengan cara gantung diri, 23% menggunakan racun serangga dan overdosis.
WHO: 2003 bahwa satu juta orang bunuh diri tiap tahunnya atau setiap 40 detik, terutama usia 15 – 34 tahun. Sumber Baku (IYUS Yosep, 2007).

3.      Gambaran Klinis dan Psikodinamika
Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu tugas yang penting namun sulit dilaksanakan. Penelitian menunjukkan bahwa resiko bunuh diri yang berhasil akan meningkat pada jenis pria berkulit putih, umur lanjut dan isolasi sosial. Pasien dengan riwayat keluarga percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang berhasil membuat resiko tambah semakin tinggi. 80% pasien yang melaksanakan bunuh diri dan berhasil, biasanya mengidap gangguan afektif dan 25% bergantung pada alkohol. Bunuh diri merupakan 15% sebab kematian, kelompok diatas skozofrenia yang jarang terjadi, namun 10% pasien skizofrenik meninggal akibat bunuh diri (Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat: 433-434).





4.      Macam – Macam Bunuh Diri dan Percobaan Bunuh Diri Emile Derkheim
1)      Bunuh Diri Egoistik
Individu itu tidak mampu berintegrasi dengan masyrakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau masyarakat yang menjadikan individu itu seolah – olah tidak berkepribadian.
Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka yang tidak menikah lebih rentan untuk melakukan bunuh diri daripada mereka yang sudah menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi sosial yang lebih baik daripada daerah perkotaan sehingga angka suicide juga lebih sedikit.

2)      Bunuh Diri Altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi ataupun ia cenderung  untuk bunuh diri karena identifikasinya terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
Contohnya : “Harakiri” di Jepang , “puputan” di Bali beberapa ratus tahun lalu, dan dibeberapa masyarakat primitif yang lain. Suicide mencari ini mencari dalam zaman sekarang jarang terjadi.

3)      Bunuh Diri Anomik
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma – norma yang kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan, masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan – kebutuhannya.
Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak daripada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

5.      Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Bunuh Diri
1)      Faktor Psikologik
1        Teori Freud
Menafsirkan tingkah laku suicide, bahwa halangan untuk menyatakan amarah dan permusuhan terhadap seseorang yang dicintai, mungkin memaksakan seseorang untuk menimpakan impuls – impuls agresif yang tidak aseptabel itu pada dirinya sendiri.
Para psikoanalis biasanya cenderung mengabaikan faktor sosial yang juga sangat mempengaruhi individu. Mereka lebih menitikberatkan pada dorongan (“drives”) pribadi seperti pada keseimbangan antara instink mati dan hidup.

2        Teori Meninger
Adanya tiga komponen pada orang yang melakukan bunuh diri, yaitu adanya keinginan untuk menambah dan menyerang, untuk dibunuh dan untuk mati atau menghukum diri sendiri.

3        Teori Scheidman dan Farberow
Membagi 4 golongan yaitu:
1).    Mereka percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab mereka memandang bunuh diri sebagai peralihan menuju kehidupan yang lebih baik atau mempunyai arti untuk menyelamatkan nama baiknya (misal: Harakiri).
2).    Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang kehilangan anak atau cacat jasmaninya, yang menganggap bunuh diri sebagai suatu jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan bagi mereka.
3).    Mereka yang psikotik, dan bunuh diri disini merupakan jawaban terhadap halusinasinya atau wahamnya.
4).    Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya bahwa karena bunuh diri orang lain akan berduka cita dan mereka sendiri akan dapat menyaksikan kesusahan orang lain itu.
Menurut Schneidman dan Farberow bunuh diri (suicide) mengandung arti :
1.      Ancaman bunuh diri (threatened suicided).
2.      Percobaan bunuh diri (attempted suicided).
3.      Bunuh diri yang telah dilakukan (comitted suicided).
4.      Depresi dengan niat  hendak bunuh diri.
5.      Melukai diri sendiri (self destruction).

2)      Faktor Biologik
Kurangnya Seorotin di CSF, para penganut teori nerofisiologik menganggap bahwa keputusan terakhir untuk melakukan bunuh diri dipengaruhi oleh kelemahan fungsi serebrohortikal, antara lain karena insomnia dan barbitural serta alkohol.

3)      Faktor Genetik
Riwayat keluarga bunuh diri studi kembar 11,3% versus 1,8%.

4)      Faktor Fisik
Korban bunuh diri 25 – 75% dengan gangguan fisik/ kecacatan (Maramis, 1998: 434 - 436).

6.      Pencegahan dan Pengobatan
Yang berhasil bunuh diri tentunya tidak perlu pengorbanan lagi, hanya keluarga yang ditinggalkan mungkin perlu diperhatikan, karena kejadian ini menimbulkan stress pada mereka dan ada kecenderungan untuk bunuh diri yang lebih besar diantara orang – orang yang berhubungan dengan orang yang telah melakukan bunuh diri. Bila ada kesempatan, maka kiranya hal suicide secara umum sebaiknya dibicarakan dengan mereka.
Untuk yang tidak berhasil, tindakan yang menjadi prioritas dalam pengobatan tergantung pada berat ringannya keadaan badan dan jiwa atau gejala – gejala yang paling menonjol.
Bagaimana dengan pencegahan, mengapa mencegah orang yang mau bunuh diri? Manusia berkuasa atas dirinya sendiri? Kalau mau mati boleh asal tidak boleh merugikan orang lain.
Orang yang akan melakukan bunuh diri egoistik ataupun anomik berada dalam keadaan patologis, karena mengalami gangguan fungsi mental yang  bervariasi, ringan sampai berat karena perlu ditolong. Kecuali bunuh diri altruistik tidak mungkin ditolong kecuali bila kebudayaan dan norma – norma masyarakat diubah.

Solomon membagi besarnya resiko bunuh diri adanya tanda – tanda resiko berat dan tanda – tanda bahaya yaitu:
1        Tanda – Tanda Resiko Berat ialah:
1).    Keinginan mati yang sungguh – sungguh, pernyataan yang berulang – ulang, bahwa ia ingin mati (anggapan bahwa orang yang mengatakan demikian tidak akan berbuatnya ternyata keliru).
2).    Adanya depresi, dengan gejala rasa salah dan dosa terutama terhadap orang – orang yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum, rasa cemas yang hebat, rasa tidak berharga lagi, adanya gangguan tidur yang berat.
3).    Adanya psikosa, terutama penderita psikosa yang impulsif serta adanya perasaan curiga, ketakutan dan panik. Keadaan semakin berbahaya bila penderita mendengar suara – suara yang memerintakan membunuh dirinya.

2        Tanda – Tanda Bahaya yaitu:
1).    Pernah melakukan percobaan bunuh diri (anggapan bahwa orang yang pernah mencoba bunuh diri tidak akan berbuat demikian lagi juga keliru). Jika percobaan bunuh diri dahulu ditempat yang sepi, sehingga kecil sekali orang yang dapat menghalangi tindakannya, dan bila dilakukan di tempat ramai mungkin keinginan mati itu kecil.
Cara yang dipakai, bila yang dipilih lebih besar dan lebih menyakitkan maka makin besar niatnya dengan kemungkinan melakukan suicide.
2).    Penyakit menahun: Penderita melakukan bunuh diri karena depresi.
3).    Ketergantungan obat dan alkohol karena mempunyai efek melemahkan kontrol dan mengubah dorongan (impuls) sehingga memudahkan bunuh diri.
4).    Hipokhodriasis: keluhan fisik yang konstan dan bermacam – macam tanpa sebab organis dapat menimbulkan depresi yang berbahaya.
5).    Bertambahnya umur: terutama pada pria, bertambahnya umur tanpa pekerjaan atau kesibukan yang berarti, dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak berguna.
6).    Pengasingan diri: masyarakat tidak dapat lagi menolong dan mengatasi depresi berat.
7).    Kebangkrutan kekayaan: individu tanpa uang, pekerjaan, teman/ harapan masa depan, tidak mempunyai gairah untuk hidup.
8).    Catatan bunuh diri: setiap catatan bunuh diri harus dianggap sebagai tanda bahaya.
9).    Kesukaran penyesuaian diri yang kronis: hubungan antar individu yang tidak memuaskan, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk melakukan suicide.
10).      Tak jelas adanya keuntungan sekunder, jika ancaman penderita tertuju pada orang tertentu disekitarnya, maka mungkin percobaan bunuh diri bertujuan untuk memanipulasi dan mengharapkan pertolongan, maka resiko kecil. Jika tidak terdapat keuntungan sekunder yang jelas dan ancamannya betul – betul ditujukan pada dirinya, maka resiko jauh lebih besar (Maramis, 1998: 440 - 441).

7    Pengobatan
      Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian khusus, pertolongan pertama dilakukan secara darurat di rumah sakit. Kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis, penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial, tetapi berhubungan dengan kriteria besarnya kemungkinan suicide. Pengobatan mentalnya, penderita depresi TX ECT, obat – obatan anti depresi dan psikoterapi (Maramis, 1998: 444).

B.  Mencederai Diri Sendiri (Bunuh Diri)
      Seorang anak remaja yang merupakan harapan orang tua dan harapan masa depan bangsa. Akhir – akhir ini penelitian menunjukkan banyak kasus bunuh diri dari kalangan anak dan remaja.
Kaplan Sadock (1997), seorang anak yang berupaya bunuh diri sangat rentan terhadap pengaruh stressor sosial, seperti percekcokan keluarga yang kronis, penyiksaan, penelantaran, kehilangan sesuatu yang dicintai, kegagalan akademik dan lingkungan yang buruk.
Ciri – ciri universal penyebab anak remaja bunuh diri adalah ketidakmampuan mereka memecahkan masalah dalam menghadapi percekcokan keluarga, penolakan dan kegagalan karena yang bertanggungjawab dalam trend upaya bunuh diri pada anak dan remaja di Indonesia adalah keluarga dan lingkungan terdekat pada anak.
Vigocsky bahwa lingkungan terdekat anak akan berpengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian anak.
Stuart Sundeen 1995, jenis kepribadian paling serius melakukan bunuh diri adalah type agresif, bermusuhan, putus asa, harga diri rendah (HDR) dan kepribadian anti sosial. Anak memiliki resiko besar untuk melakukan bunuh diri berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter untuk keluarga yang pernah melakukan bunuh diri, gangguan emosi dan keluarga dengan alkoholisme.
Faktor yang memegang peranan ialah riwayat psikososial seperti orang tua yang bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan atau stress multiple seperti (pindah tempat tinggal, kehilangan, penyakit kronis). Stressor tersebut mempengaruhi koping yang kurang konstruktif. Anak mudah mengambil jalan pintas karena tidak ada lagi tempat yang memberi rasa aman.
Kaplan bahwa gangguan jiwa dan suicide pada anak remaja akan muncul apabila stressor lingkungan menyebabkan kecemasan meningkat.
1        Stressor Pencetus secara Umum
Stressor pencetus bunuh diri sebagian besar adalah kejadian memalukan, masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, ancaman penjara dan yang paling penting tahu cara – cara bunuh diri.
Faktor resiko secara psikososial: putus asa, ras, jenis kelamin, riwayat keluarga bunuh diri, riwayat keluarga adiksi obat, diagnosa penyakit kronis, penyalahgunaan zat.
2        Faktor yang Mempengaruhi Bunuh Diri
1).    Faktor mood dan biokimiawi otak
Pencetusnya ialah semua kasus “horor” tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati sekarang. Ghanshyam Pandey University Chicago menemukaan bahwa aktifitas enzim didalam pikiran manusia bila mempengaruhi mood yang memicu keinginan mati bahwa tingkat aktifitas protein kinase C (PKC), pada otak orang bunuh diri lebih rendah daripada yang mati dengan tidak bunuh diri.
Benefit, Rooswita, Depresi berat menjadi penyebab utama karena individu tidak kuat menanggung beban permasalahnnya dan pada akhirnya memicu keinginan bunuh diri.

2).    Faktor riwayat gangguan mental
Depresi, stress pada remaja dan mereka berusia muda cenderung meningkat dan semakin mengkhawatirkan, 20% orang muda mati bunuh diri karena faktor neurobilogisnya (serotonin, adrenalin, dopamin), pada kasus bunuh diri cairan serotonin yang menyebabkan stress dan depresi.

3).    Faktor meniru / imitasi pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri dikatakan ada proses pembelajaran. Para korban memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri, bisa juga dari pembelajaran / pengetahuan (misal: film – film, horor / sedih), orang yang pernah mencoba bunuh diri dengan cara yang halus (minum racun, overdosis obat) bila tidak berhasil akan mengulangi cara yang lebih halus (gantung diri, dll).

4).    Faktor isolasi sosial
Seorang individu merasa terasing (dipinggirkan dan merasa tidak mempunyai teman sekolah, tingkah laku / perasaan ini menjadi lebih buruk bila ia merasa tidak dipedulikan kleuarganya).
Mengapa orang memilih bunuh diri?, secara umum stress muncul karena kegagalan beradaptasi, baik dilingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat dan sebagainya.
5).    Faktor hubungan perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Rasa tidak aman merupakan penyebab terjadinya banyak kasus bunuh diri, merasa kuatir, takut akan ancaman kebutuhan dasar (makan, tempat tinggal dan sebagainya) tidak terpenuhi bahkan kehilangan karena adanya peraturan – peraturan yang ada (PHK, penggusuran rumah - rumah).

6).    Faktor religius
Dahlikhairi, bunuh diri merupakan cerminan tipisnya iman atau kurang begitu memahami ilmu agama. Dengan alasan apapun dan diagama manapun bunuh  diri dipandang sebagai dosa besar dan mengingkari kekuasaan Tuhan. Di negara maju kematian karena bunuh diri menempati urutan ketiga mungkin disebabkan tidak beriman serta lemahnya pemahaman tentang agama.
Bunuh diri, bisa terjadi pada semua tahap usia, dengan pencetus yang berbeda – beda, sulitnya menghadapi lingkungan, kompetisi, termasuk dalam pergaulan, bisa memacu  stress atau tekanan hidup yang salah satu faktor penyebab bunuh diri.

3        Rentang Respon
Menghargai diri
Merusak diri
 


RESPON ADIKTIF

RESPON MALADAPTIF
Menghargai
Berani ambil resiko dalam mengembangkan diri
Perilaku destruktif diri tak berlangsung
Merubah diri sendiri secara tidak langsung
Bunuh diri
(Stuart, Sundeen 1987 , Keliat BA 1994)

4        Terapi Lingkungan pada Kondisi Khusus Bunuh Diri (Suicide)
Ruangan aman dan nyaman, terhindar dari alat yang dapat digunakan untuk mencederai diri sendiri atau orang lain, alat medis, obat-obatan dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan terkunci, ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan mudah dipantau oleh petugas kesehatan, tata ruangan menarik dengan menempelkan poster yang cerah dan meningkatkan gairah hidup pasien, warna dinding cerah, adanya bacan ringan, lucu dan memotivasi hidup, hadirkan musik ceria, televisi dan film komedi, adany alemari khusus untuk menyimpan barang – barang pribadi pasien.
Lingkungan sosial: komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa pasien sesering mungkin, memberi penjelasan setiap akan melakukan kegiatan keperawatan atau kegiatan medis lainnya, menerima pasien apa adanya jangan mnegjek serta merendahkan, meningkatkan harga diri pasien, membantu menilai dan meningkatkan hubungan sosial secara bertahap, membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya, sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan membiarkan pasien sendiri terlalu lama.

5        Peranan Perawat dalam Perilaku Mencederai Diri
Pengkajian
1.      Lingkungan dan upaya bunuh diri: perawat perlu mengkaji paristiwa yang menghina atau menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
2.      Gejala: perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap, berat badan menurun, bicara lamban, keletihan , withdrawl.
3.      Penyakit psikiatrik: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, zat adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia.
4.      Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan, stress multiple (pindah, kehilangan, putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit kronik.
5.      Faktor kepribadian: impulsif, agresif, bermusuhan, kognisi negatif dan kaku, putus asa, harga diri rendah, antisosial.
6.      Riwayat keluarga: riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.

Diagnosa Perawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/ kekerasan pada diri sendiri dengan takut terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
·        Sasaran jangka pendek: klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin mencederai diri
·        Sasaran jangka panjang: klien tidak akan mencederai diri.

Intervensi dan Rasional
·         Observasi perilaku klien lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat dibutuhkan supaya intervensi dapat terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
·         Tetapkan kontak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang yang dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap penerimaan klien sebagai individu dapat dirasakan).
·         Jika mutilasi diri terjadi,  rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya jangan berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk perilaku maladaptif dapat menurunkan pengulangan mutilasi).
·         Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum perilaku ini terjadi (agar memecahkan masalah dan memahami faktor pencetus).
·         Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan amarah yang tepat (perilaku bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri).
·         Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien merupakan prioritas keperawatan).
·         Arahkan kembali perilaku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan  fisik merupakan cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam).
·         Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien (bukti kontrol terhadap situasi dan memberikan keamanan fisik serta semangat hidup).
·         Berikan obat – obatan sesuai dengan  kolaborasi, pantau keefektifan dan efek samping (obat penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat memberikan efek menenangkan pada klien dan mencegah perilaku agresif).
·         Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap (bila klien menolak obat – obatan dan situasi darurat restrain diperlukan pada jam-jam tertentu).
·         Observasi klien dengan restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap dengan mempertimbangkan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien merupakan prioritas keperawatan).

Intervensi Klien Bunuh Diri
1.     Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia mau berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada alasan melalui kesulitan sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, bila mendapati ada orang yang hendak bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan tempat dia tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh  diri. Kalau perlu buatlah semacam “kontrak” pada dia untuk tidak melakukan bunuh diri, meski tingkat keberhasilan ini sangat kecil. Kesulitan utama yang dihadapi apabila orang yang akan melakukan bunuh diri itu tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat permukaan dia tampak mengerti dan memahami arti hidup, serta terkesan tidak akan melakukan bunuh diri, tetapi tiba-tiba sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga menjadi sarana yang baik untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan orang untuk bunuh diri.

2.     Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri, perlu sikap menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis, memojokkan apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri. “Kalau mereka merasa dipojokkan kemungkinan bunuh diri akan semakin cepat”. Yang paling penting disini adalah mencoba menampung segala keluahnnya dan menjadi pendengar yang baik. Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat. Jangan harap kata-kata Anda bisa menjadi senjata ajaib  untuk menyadarkannya. Pada dasarnya dalam diri orang yang ingin bunuh diri tersimpan sikap mendua atau ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap hidup, tapi sebagian lagi ingin segera mati untuk mengakhiri penderitaannya. Karena sedang menderita itulah, sebenarnya ia sangat membutuhkan bantuan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk mengalirkan masalah dan perasaannya. Namun, orang yang berniat bunuh diri biasanya takut untuk mencoba pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban deritanya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting, berdosa, atau diberi cap negatif lainnya.

3.     Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena bisa sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma atau penilaian negatif di masyarakat kepada klien gangguan kejiwaan. Namun, bila dibandingkan dulu stigma sekarang sudah mulai menurun. Bahkan stigma membuat pihak keluarga klien juga tidak memahami karakter keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiatri. Padahal, dukungan keluarga sangat penting untuk upaya penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga perlu didukung masyarakat sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dengan penyakit-penyakit fisik lain seperti Decomp, DM, Hepatitis dan sebagainya. Yang membutuhkan perawatan dan tenaga ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa menimpa siapa saja.

4.     Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau curhat, sehingga membantu meringankan beban yang menerpa. Salah satu solusi yang akan ditawarkan, selain mengpontrol emosi, lebih mwndekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Express feeling sangat penting agar masalah yang menekan semakin ringan.

5.     Lakukan implementasi khusus
·        Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus ditanggapi serius oleh perawat. Laporkan sesegera mungkin dan lakukan tindakan pengamanan.
·        Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
·        Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat di tempat tidur/ kamar mandi.
·        Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut, pastikan bahwa obat telah ditelan, berikan obat dalam bentuk cair bila memungkinkan.
·        Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan perhatian dan kepedulian perawat.
·        Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah selesai merencanakan bunuh diri.




Minggu, 31 Juli 2011
Diposting oleh Amel_Lia

ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN TINDAKAN INISIASI
MENYUSU DINI DENGAN KELANCARAN ASI PADA
IBU POST PARTUM DI RSIA
MUSLIMAT JOMBANG

Oleh : Rina Amalia
070201077

Pembimbing I : Sestu Retno D.A., S.Kp., M. Kes
Pembimbing II : drg. Effy Kurniati

Inisiasi air susu ibu (ASI) merupakan proses permulaan/pengenalan bayi dalam mendapatkan ASI sejak lahir sampai menyusui pertama kali. Pada kesempatan satu jam pertama paska bayi lahir, akan melatih bayi secara naluriah menemukan sendiri puting susu ibunya. Bila bayi bisa menyusu dalam 20-30 menit pertama setelah lahir akan membangun refleks menghisap pada bayi dan dapat meningkatkan produksi ASI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan inisiasi dini dengan kelancaran ASI pada ibu post partum.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik korelasional dengan pendekatan prospektif yang dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2011. Analisis yang digunakan Chi- Square dan diolah secara komputerisasi menggunakan SPSS 13,0. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan persalinan normal di RSIA Muslimat Jombang sebanyak 31 orang. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel 27 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar observasi yang kemudian dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square.
Dari hasil uji chi square didapat X2 sebesar 6,667 dimana harga chi tabel dengan dk = 1 dengan taraf signifikan 5% (0,05) adalah 3,418 hal ini berarti X2 hitung lebih besar dari X2 tabel ( 6,667 > 3,418) dan HI diterima yang berarti jika  responden melakukan inisiasi menyusu dini maka produksi ASI nya lancar dan jika responden tidak berhasil melakukan inisiasi menyusu dini maka produksi ASI nya tidak lancar. Keeratan hubungan antara variable inisiasi menyusu dini dengan kelancaran ASI sebesar 0,049, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran ASI adalah sedang dengan arah positif.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar pemerintah dan praktisi kesehatan lebih intensif dalam mempromosikan program Inisiasi Menyusui Dini. Dengan harapan peningkatan pengetahuan masyarakat dapat meningkatkan motivasi dan sikap yang mendukung insiasi menyusu dini karena sangat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari inisiasi menyusu dini.

Kata Kunci : Inisiasi Menyusu Dini, Kelancaran ASI






ABSTRACT
CORRELATION BETWEEN THE EARLY INITIATION BREASTFEEDING AND BREAST MILK FLUENCY
IN MOTHER POST PARTUM IN RSIA
MUSLIMAT JOMBANG

By : Rina Amalia
070201077

Advisor I : Sestu Retno D.A., S.Kp., M. Kes
Advisor II : drg. Effy Kurniati

Initiation of breast milk is the introduction/initial process in breast-fed infants from birth to first lactation. On the occasion of the first hour after the baby is born, infant is instinctively trained to find his mother’s nipple. If the baby can suckle within the first 20-30 minutes after the birth, the baby's sucking reflex can be learned and can increase milk production. This study aims to determine the correlation of early initiation of breastfeeding in mothers with a smooth post-partum.
This study used a correlation research design with a prospective approach, which was conducted in May-June 2011. The analysis used Chi-Square and processed and computerized using SPSS 13.0. The populations in this study were post-partum mothers with normal deliveries in RSIA Muslimat Jombang as many as 31 people. Method of sampling in this study was purposive sampling technique, using sample of 27 people. Data were collected using questionnaires and observation sheet which was then analyzed using chi square statistical test.
From the chi square test results obtained for 6.667 X2 where prices chi table with df = 1 with a significant level of 5% (0.05) is 3.418 this means X2 count is greater than X2 table (6.667> 3.418) and HI is received which means there is a correlation between early initiation of breastfeeding in mothers and a smoothness of breast milk excretion on post partum mother at RSIA Muslimat Jombang with the correlation between the variables of early initiation of feeding and fluidity of breast milk excretion of 0.049, so it can be concluded that the correlation between early initiation of feeding and breast milk is being easy to produce with the positive direction.
Based on the results of the study, it is recommended that governments and health practitioners more intensively promoting a program of Early Initiation of Breastfeeding. With the hope of increasing people's knowledge can also improve the motivation and attitudes that support breastfeeding initiation early because so many benefits that can be obtained and early initiation of breastfeeding.

Keywords: Early Initiation Breastfeeding, Smoothness Breast milk

Sabtu, 23 Juli 2011
Diposting oleh Amel_Lia

ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN TINDAKAN INISIASI
MENYUSU DINI DENGAN KELANCARAN ASI PADA
IBU POST PARTUM DI RSIA
MUSLIMAT JOMBANG

Oleh : Rina Amalia
070201077

Pembimbing I : Sestu Retno D.A., S.Kp., M. Kes
Pembimbing II : drg. Effy Kurniati

Inisiasi air susu ibu (ASI) merupakan proses permulaan/pengenalan bayi dalam mendapatkan ASI sejak lahir sampai menyusui pertama kali. Pada kesempatan satu jam pertama paska bayi lahir, akan melatih bayi secara naluriah menemukan sendiri puting susu ibunya. Satu jam pertama setalah bayi lahir, adalah kesempatan emas yang akan menentukan keberhasilan ibu untuk menyusui bayinya secara optimal. Bila bayi bisa menyusu dalam 20-30 menit pertama setelah lahir akan membangun refleks menghisap pada bayi dan dapat meningkatkan produksi ASI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan inisiasi dini dengan kelancaran ASI pada ibu post partum.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional dengan pendekatan prospektif yang dilaksanakan pada bulan Mei — Juni 2011. Analisis yang digunakan Chi-Square dan diolah secara komputerisasi menggunakan SPSS 13,0. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan persalinan normal di RSIA Muslimat Jombang sebanyak 31 orang. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel 27 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar observasi yang kemudian dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square.
Dari hasil uji chi square didapat X2 sebesar 6,667 dimana harga chi tabel dengan dk = 1 dengan taraf signifikan 5% (0,05) adalah 3,418 hal ini berarti X2 hitung lebih besar dari X2 tabel ( 6,667 > 3,418) dan HI diterima yang berarti ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran ASI pada ibu post partum di RSIA Muslimat Jombang dengan ke eratan hubungan antara variable inisiasi menyusu dini dengan kelancaran ASI sebesar 0,049 , sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran ASI adalah sedang dengan arah positif
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar pemerintah dan praktisi kesehatan lebih intensif dalam mempromosikan program Inisiasi Menyusui Dini. Dengan harapan peningkatan pengetahuan masyarakat dapat meningkatkan motivasi dan sikap yang mendukung insiasi menyusu dini karena sangat banyak manfaat yang dapat diperoleh dan inisiasi menyusu dini.

Kata Kunci : Inisiasi Menyusu Dini, Kelancaran ASI