jumlah pengunjung blog

jumlah pengunjung blog

google translet

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Laman

Jumat, 18 Maret 2011

gizi untuk lansia

Diposting oleh Amel_Lia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi Lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya. Selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia.
Kebutuhan kalori pada Lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalor dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal.
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu :
1.      Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah :
a.       Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, gandum, ubi, roti, singkong, dan lain-lain. Selain itu dalam bentuk gula seperti gula, sirup, madu, dan lain-lain.
b.      Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya.
2.      Kelompok zat pembangun
Kelompok ini meliputi makan-makanan yang banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur, kacang-kacangan dan olahannya.
3.      Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.


1.2    Tujuan
·         Mahasiswa mampu menyebutkan faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keadaan gizi pada usia lanjut.
·         Mahasiswa mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi penilaian status gizi.
·         Mahasiswa mampu menjelaskan dasar perhitungan energi bagi Lansia.

1.3    Manfaat
·         Agar mahasiswa dapat membantu mengatasi masalah keadaan gizi pada Lansia.
·         Agar mahasiswa dapat memberi penyuluan pada Lansia untuk mengurangi faktor resiko penyakit dan proses penuaan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Definisi LANSIA
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Membagi Lansia menjadi young elderly (65 – 74 tahun) dan older elderly (75 tahun). Sementara Munro dkk, (1987) mengelompokkan older elderly ke dalam 2 bagian, yaitu usia 75 – 84 tahun dan 85 tahun. Di Indonesia, M. Alwi Dahlan menyatakan bahwa orang dikatakan Lansia jika berumur di atas 60 tahun. Jika mengacu pada usia pensiun, Lansia adalah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun.
Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan Lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal. Penggolongan Lansia menurut Depkes dikutip dari Aziz (1994) menjadi tiga kelompok yaitu :
1.      Kelompok Lansia Dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru mamasuki Lansia.
2.      Kelompok Lansia (65 tahun ke atas).
3.      Kelompok Lansia Resiko Tinggi, yaitu Lansia yang berusia lebih dari         70 tahun.
Dari sini kemudian muncul istilah Lansia Resiko Tinggi (High Risk Elderly) dengan kriteria :
1.      Usia di atas 80 tahun.
2.      Hidup sendiri.
3.      Depresi
4.      Gangguan intelektual.
5.      Jatuh beberapa kali.
6.      Inkontinensia urine
7.      Di masa lalu tidak dapat menyesuaikan diri.
Manusia Lanjut Usia (MANULA) dimasukkan dalam kelompok rentan gizi, meskipun tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan badan, bahkan sebaliknya sudah terjadi involusi dan degenerasi jaringan dan sel-selnya. Timbulnya kerentanan terhadap kondisi gizi disebabkan kondisi fisik, baik anatomis maupun fungsionalnya.

2.2      Masalah Kesehatan Utama pada Lansia yang Terkait dengan Gizi
Penampilan penyakit pada Lanjut Usia (Lansia) sering berbeda dengan pada dewasa muda, karena penyakit pada Lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Penampilan penyakit pada Usia Lanjut (Lansia) sering berbeda dengan pada dewasa muda, karena penyakit pada Lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Demikian juga, masalah kesehatan yang sering terjadi pada Lansia berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I yaitu :
1.      Immobility (kurang gerak)
2.      Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh)
3.      Incontinence (beser buang air kecil atau buang air besar)
4.      Intellectual Impairment (gangguan intelektual/dementia)
5.      Infection (infeksi)
6.      Impairment of vision and hearing, Taste, Smell, Communication Convalescence, Skin Integrity (gangguan panca indera, komunikasi, penyembuhan dan kulit)
7.      Impaction (sulit buang air besar).
8.      Isolation (depresi).
9.      Inanition (kurang gizi).
10.  Impecunity (tidak punya uang)
11.  Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan)
12.  Insomnia (gangguan tidur).
13.  Immune Deficiency (daya tahan tubuh yang menurun)
14.  Impotence (impotensi)

2.3      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lansia
1.      Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau ompong.
Bagian dalam rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, guzi dan ludah. Tanggalnya gigi bukan hanya disebabkan oleh ketuaan, tapi juga dikondisikan oleh pemeliharaan yang tidak baik. Ketidakbersihan mulut menyebabkan gigi dan guzi kerap terinfeksi. Selain itu, sekresi air ludah berkurang sampai kira-kira 75% sehingga mengakibatkan pengeringan rongga mulut, dan berkemungkinan menurunkan cita rasa.

Keadaan dalam Rongga Mulut yang Mengganggu Proses Makan
Struktur Mulut
Permasalahan
Tanda/Gejala
Kelenjar Ludah






Gigi







Periodontium



Tulang Gigi




Sendi Rahang




Otot Mulut dan Muka





Lidah


Lapisan
Mukosa





Gigi Palsu
Serostomia







Atrisi

Karies



Ompong

Ginggivitis
Periodontitis


Massa Berkurang




Gangguan Fungsi 




Atrofi



Diskinesia Mulut


Glositis
Glosodinia

Atrofi

Sindrom Rasa Terbakar
Kandidiasis
Stomatitis Kontak
Kanker Ulkus Trauma

Kebersihan Buruk
Stomatitis
Ulserasi
Wearing
Volume ludah kurang, makanan terselip di sela gigi, rasa terbakar, sariawan yang luas, glosodinia, glositis atrofik, gangguan pengecapan, tidak bisa menggunakan gigi palsu, dan iritasi serta ulserasi mulut.

Efisiensi mengunyah berkurang, sendi rahang terganggu.
Efisiensi mengunyah berkurang, nyeri dalam mulut, gigi hipersensitif, nyeri dalam mulut, cryalgesia, thermalgesia.
Efisensi mengunyah berkurang.

Nyeri mulut, pengecapan tak nyaman
Nyeri mulut, efisiensi mengunyah berkurang, pengecapan tak nyaman.

Efisiensi mengunyah berkurang, sendi rahang terganggu (resorpsi tulang), gigi goyah dan tanggal, tidak bisa menggunakan gigi palsu.

Nyeri sendi dan otot mulut dan muka serta mulut, rahang lecet, dan gerakannya terbatas, trismus, efisiensi mengunyah berkurang.

Efisiensi mengunyah berkurang, kekuatan menggigit dan muka berkurang, disfagia, tak bisa pakai gigi palsu.
Efisiensi mengunyah berkurang, disfagi

Kemampuan mengecap hilang.
Nyeri mulut, odinofagia.

Efisiensi mengunyah berkurang.
Glosodinia, daya kecap hilang.
Nyeri mulut, glosodinia, odino fagia
Nyeri mulut, odinofagia.
Nyeri mulut, disfagia
Nyeri mulut, disfagia.

Kepekaan mengecap berkurang
Nyeri mulut
Nyeri mulut
Efisiensi mengunyah dan kepekaan pengecapan berkurang.

2.      Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam dan pahit.
3.      Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
Penuaan esophagus berupa pengerasan sfingter bagian bawah sehingga sukar mengendur (relaksasi) dan mengakibatkan esophagus melebar (presbyesofagus). Keadaan ini memperlambat pengosongan esophagus dan tidak jarang berlanjut sebagai hernia hiatal. Gangguan menelan biasanya berpangkal pada daerah presofagus, tepatnya di daerah orofaring. Penyebabnya tersembunyi dalam sistem saraf sentral atau akibat gangguan neuromuscular, seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot polos menebal. Dengan manometer akan tampak tanda perlambatan pengosongan esophagus.
4.      Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
Lapisan lambung Lansia menipis. Di atas usia 60 tahun, sekresi HCl dan pepsin berkurang. Dampaknya, penyerapan B12 dan zat besi menurun.
5.      Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan konstipasi.
Berat total usus halus (di atas 40 tahun) berkurang, meskipun penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali kalsium (di atas usia 60 tahun) dan zat besi.
6.      Penyerapan makanan di usus menurun.


2.4      Masalah Gizi pada Lansia
1.      Gizi Berlebih
Gizi berlebih pada Lansia banyak terjadi di negara-negara barat dan kota-kota besar. Kebiasaan makan banyak pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih, apalagi pada Lansia penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan.
Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing manis dan darah tinggi.

2.      Gizi Berkurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah sosial ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, kemungkinan akan mudah terkena infeksi.

3.      Kekurangan Vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan menjadi lesu dan tidak bersemangat.

4.      Masalah Lansia yang Terkait dengan Gizi
Penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes dan hipertensi. Pola penyakit orang di atas usia 55 tahun adalah sebagai berikut :
·         Problem like depression, kehilangan daya ingat, dan arthritis.
Keadaan yang mengubah nafsu makan.
·         Kesehatan mulut buruk.
Penyakit gigi dan gusi, susah menelan dan mulut kering.

·         Obat.
Banyak Lansia gemar membeli dan mengkonsumsi obat bebas di samping obat yang diresepkan dokter sehingga menimbulkan bahaya keracunan karena kelebihan dosis. Efek samping obat serta pengaruh interaksi obat secara langsung dapat mempengaruhi nafsu makan. Efek samping tersebut misalnya mual, diare, kelemahan dan mengantuk. Aspirin, misalnya, mengakibatkan iritasi lambung dan memperberat anemia yang ada.
·         Kemiskinan.
Lebih dari seperempat juta Lansia Amerika berada di bawah (atau tepat berada diatas) garis kemiskinan. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 71,2% Lansia (diatas 60 tahun) tergolong berkualitas rendah, dalam artian tidak pernah bersekolah, dan ini menyiratkan “status kemiskinan” mereka.
·         Hidup sendiri.
Pada tahun 1991 terdapat 31 % Lansia yang tidak dirawat di Panti Wreda, hidup sendiri. Sekitar 64 – 92 % Lansia (diatas 60 tahun) Indonesia (Boedhi Darmojo, dkk. 1991 – 1992) merasa diri mereka sehat. Gangguan kesehatan yang nyata baru terasa sesudah usia             70 tahun.
·         Masalah fisik dan mobilitas
Tidak bisa berjalan atau melakukan sesuatu sendiri. Masih menurut penelitian Boedhi Darmojo dkk, 90 – 95%  responden (1.203 orang diatas 60) Lansia Indonesia masih mampu melakukan kegiatan harian, seperti makan, minum, mandi, buang air, berpakaian, bangun tidur, dan sebagainya. Sementara 75 – 80 % responden dapat berbelanja, menyiapkan makanan, berpergian, dan mengatur keuangan sendiri. Selain itu 14,6 % masih tetap bekerja mencari nafkah.
Sekitar 30 % Lansia yang berusia diatas 65 tahun yang tidak tinggal di panti, terjatuh sendiri. Angka ini meningkat menjadi 50% jika usia Lansia tersebut telah melebihi 85 tahun. Sekitar 10% kejatuhan ini mengakibatkan kondisi yang serius, diantaranya 5% patah tulang dan 5% trauma jaringan lunak. Wanita lebih sering jatuh (46%) ketimbang pria (30%). Kasus yang lazim terjadi pada Lansia ialah :
1)      Nyeri tulang,
2)      Osteoporosis,
3)      Anemia defisiensi dan
4)      Hipotensi postural.
·         Nyeri tulang
Terutama persendian, terjadi antara lain karena penipisan diskus intervertebralis serta korpusnya.
·         Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang.
Penyebab proses ini ialah
a)      Defisiensi kalsium, karena asupan berkurang dan penyerapan    kalsium menurun. Kehilangan kalsium berlangsung secara bertahap –50 mg/hari selama 20 tahun sebelum tanda dan gejala klinis muncul.
b)      Gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause (penurunan estrogen) dan
c)      Ketidakaktifan fisik. Kerentaan kedua jenis kelamin pada wanita, dengan rasio sekitar 4 : 1 Tulang yang paling banyak terkena adalah tulang belakang, pergelangan tangan (lelaki) dan paha (wanita). Trauma yang ringan saja berkemungkinan besar mematahkan tulang.
Faktor yang melatarbelakangi osteoporosis bisa dilacak sampai pada usia pertumbuhan. Konsumsi susu dalam jumlah yang adekuat pada usia tersebut menurunkan resiko terjadinya osteoporosis karena tulang sangat responsif terhadappenumpukan mineral pada usia dini. Sekali osteoporosis terjadi, tidak bisa lagi  diobati sekalipun dengan kalsium dosis tinggi.
Sharon dkk. (1993), melalui penelitian terhadap 581 orang wanita kulit putih pasca menopause yang berusia rata-rata 70,6 tahun yang mengkonsumsi susu secara teratur mulai usia 20 – 50 tahun, berhasil membuktikan manfaat konsumsi susu. Ada keterkaitan antara konsumsi susu dengan deposit kalsium (dilihat dengan sinar x pada tulang belakang, paha, dan pergelangan tangan). Diet yang kaya akan kalsium di usia dewasa ternyata berperan pada tingginya kepadatan tulang dan/atau menekan kehilangan massa tulang sampai tingkat minimal. Namun demikian, penelitian lain membuktikan bahwa konsumsi kalsium (bersama dengan fluor) sepanjang usia tidak terbukti dapat mencegah osteoporosis.
Faktor risiko osteoporosis.
1)      Usia lebih/atau sama dengan 50 tahun
2)      Pasca menopause, atau menopause sebelum 45 tahun.
3)      Kekurangan hormone seks jangka panjang
4)      Operasi ovarium
5)      Asupan kalsium dan vitamin D kurang.
6)      Kegiatan fisik kurang
7)      Kurang terpapar dengan matahari
8)      Riwayat keluarga osteoporosis.
9)      Pecandu kopi dan rokok (lebih dari 3 cangkir kopi, teh atau minuman kola sehari)
10)  Pecandu alkohol.
11)  Pengguna obat tertentu secara berlebihan (kortison, prednisone, anti kejang, antasida yang mengandung alumunium).
·         Anemia defisiensi
Disebakan oleh berkurangnya sekresi HCl lambung dan menurunnya pembentukan sel darah merah (defisiensi yang lazim terjadi di Amerika Serikat adalah kalsium, zat besi, vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, tiamin, asam folat, niasin, riboflavin dan B12, serta vitamin D akibat kurang terpajang sinar matahari).
·         Hipotensi postural.
Kondisi ini dimungkinkan oleh pengerasan baroreseptor pada pembuluh darah besar.
     
2.5      Pemantauan Status Nutrisi
1.      Penimbangan Berat Badan
a.       Penimbangan BB dilakukan secara teratur minimal 1 minggu sekali, waspadai peningkatan BB atau penurunan BB lebih dari 0,5 Kg/minggu. Peningkatan BB lebih dari 0,5 Kg dalam 1 minggu beresiko terhadap kebihan berat badan dan penurunan berat badan lebih dari 0,5 Kg / minggu menunjukkan kekurangan berat badan.
b.      Menghitung berat badan ideal pada dewasa :
·         Rumus : Berat badan ideal = 0,9 x ( TB dalam cm – 100 )
·         Catatan untuk wanita dengan TB kurang 150 cm dan pria dengan TB kurang dari 160 cm, digunakan rumus :
·         Berat badan ideal = TB dalam cm – 100
·         Jika BB lebih dari ideal artinya gizi berlebih
·         Jika BB kurang dari ideal artinya gizi kurang

2.      Kekurangan Kalori Protein
Waspadai Lansia dengan riwayat : Pendapatan yang kurang, kurang bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan hidup atau teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang tepat, sulit untuk menyiapkan makanan, sering mengkonsumsi obat-obatan yang mengganggu nafsu makan, nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan tidak mengundang selera. Karena hal ini dapat menurunkan asupan protein bagi Lansia, akibatnya Lansia menjadi lebih mudah sakit dan tidak bersemangat.

3.      Kekurangan Vitamin D
Biasanya terjadi pada Lansia yang kurang mendapatkan paparan sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan kurang mengkonsumsi vitamin D yang banyak terkandung pada ikan, hati, susu dan produk olahannya



2.6      Keseimbangan Energi
Berkurangnya nafsu makan berujung pada penurunan asupan pangan. Ketidakselektifan dalam memilih makanan yang dikombinasi dengan melemahnya daya serap saluran pencernakan, memicu kekurangan vitamin dan mineral. Hasil survey di Amerika, dan negara barat terhadap Lansia menunjukkan defisiensi zat gizi seperti  Fe, Ca, vitamin A, B kompleks dan D bergantung pada keadaan ekonomi dan ras, 16 – 36% orang Amerika hanya mengkonsumsi energi < 1000 kkal sehari ( Mosley dkk, 1988).
Keseimbangan energi bergantung pada asupan dan keluaran energi. Besarnya asupan bisa diperkirakan berdasarkan jumlah energi yang dikeluarkan, bukan menghitung langsung asupan perorangan. Total asupan merupakan penjumlahan dari BMR, energi yang dihabiskan untuk kegiatan fisik, dan pengaruh termis dari makanan.
Kebutuhan akan kalori menurun sejalan dengan pertambahan usia, karena metabolisme seluruh sel dan kegiatan otot berkurang. Secara umum, terjadi penurunan asupan energi sebesar 5% per dekade. Dalam satu penelitihan terhadap Lansia yang masih lajang, penurunan ini terhitung sebesar 35 % ( lelaki ) sampai 52 % ( wanita ). Namun demikian, tidak sedikit Lansia yang sama aktifnya seperti ketika mereka masih muda. Bagi kelompok yang terakhir ini, besaran kebutuhan akan zat gizi tidak berbeda dengan jumlah yang diperlukan oleh mereka yang berusia lebih muda.
Penyusutan BMR 10 % sampai 20 %, antara usia 30 dan 75 tahun merupakan cerminan dari perubahan komposisi tubuh : Penambahan massa lemak, dan penyusutan massa otot. Yang pertama disebabkan oleh Berkurangnya kegiatan fisik. Boleh juga dikatakan sebaliknya, penyusutan massa tubuh tak berlemak merupakan imbas dari berkurangnya                kegiatan fisik.
Penilaian terhadap kebutuhan akan zat gizi di bangsal didasarkan pada keadaan kesehatan pasien. Untuk Lansia yang sehat, besarnya asupan disamakan dengan asupan orang dewasa sehat. Untuk Lansia yang sedang sakit akut, besaran asupan dihitung berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan untuk merespons keadaan hiperkatabolik yang disebabkan oleh stres penyakit. Sementara Lansia yang lemah dan telah kehilangan nafsu makan, serta asupan zat gizinya rendah, memerlukan peningkatan zat gizi yang khas.
1.      Protein
          Protein sebagai pemasok energi, dapat diberikan dalam jumlah sedang ataupun tinggi, tetapi sebaiknya 20 – 25 % dari jumlah kalori total. Jumlah asupan karbohidrat sedemikian rupa sehingga terkandung serat sebanyak 40 g.
          Penghitungan kebutuhan Lansia akan zat gizi dan air sama seperti penghitungan kebutuhan kelompok usia lain. Yang perlu diingat adalah bahwa di atas usia 25 tahun BMR akan menurun 1 % setiap 1 tahun (beberapa literatur menulis 3 – 5 % setiap dekade).
          Asupan air pada Lansia harus lebih diperhatikan karena osmoreseptor kurang sensitive sehingga mereka kerap tidak merasa haus. Kecukupan asupan air, meskipun telah dihitung secara cermat, harus dipantau melalui ekskresi urine : volume urine sehari minimal setengah liter. Jenis minuman sebaiknya air buah, karena di samping memasok cairan, sari buah juga menyuplai vitamin.

2.      Karbohidrat
Kebanyakan Lansia mengkonsumsi zat karbohidrat hanya             45 – 50% dari seharusnya 55 – 60% kalori total. Sebagian Lansia menderita kekurangan laktase ( b galaktosidase ), enzim yang berfungsi menghidrolisis laktosa. Ketiadaan proses hidrolisis berakibat laktosa tidak bisa diserap. Laktosa dalam usus kemudian dimetabolisasi oleh bakteri dan menghasilkan gas. Gas ini berpotensi menimbulkan diare, kram, dan flatulens. Itulah sebabnya mengapa banyak Lansia enggan disuguhi susu.
Keengganan ini patut disayangkan, karena susu bernilai gizi tinggi. Ada baiknya dicarikan susu yang berkadar laktosa rendah. Pengurangan kandungan laktosa sekitar 20 – 30 % berdampak pada penyusutan gejala intoleransi laktosa.

3.      Lemak
Asupan lemak dibatasi sampai sebesar 30% (banyak literatur menganjurkan batas maksimal 20 – 25 %) dari total energi sementara sisanya diupayakan dari karbohidrat. RDA untuk asam lemak esensial minimal sebanyak 2 – 3%. Pembatasan lemak kurang dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan karena kandungan asam lemak esensial berkurang.
Kelebihan dan kekurangan lemak yang diwujudkan dalam bentuk kadar kolesterol darah, berdampak sama buruknya angka kematian tertinggi bertenggerdi kedua titik ekstrim ini. Peningkatan kadar kolesterol dapat mempertinggi risiko terkena penyakit jantung koroner     (PJK). Namun demikian, hubungan antara kadar kolesterol dan PJK tidak bersifat linier, karena bukan hanya kolesterol yang ikut menyebabkan PJK dan sayangnya sampai kini belum ditemukan cara untuk memperkirakan siapa saja yang peka terhadap kolesterol diet.
Peran kolesterol diet dalam penentuan kadar plasma sulit dijelaskan. Simpanan kolesterol dalam tubuh terutama ditentukan oleh sintesis dan penjernihan (clearance). Konstribusi kolesterol diet hanya sebesar 20%. Sekitar 40 – 50% dari jumlah ini akan diserap jika besarannya masih dibawah 500 mg sehari. Jika kolesterol diet diturunkan (formula Key) dari 500 mg menjadi 250 mg sehari, dan lemak jenuh disusutkan separuhnya, serum kolesterol diharapkan berkurang sebanyak 15 %, atau sekitar 30 mg/dl.

4.      Serat
Salah satu gangguan yang sering kali dikeluhkan oleh Lansia ialah sembelit. Gangguan ini akan timbul manakala frekuensi pergerakan usus berkurang, yang akhirnya memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya semakin keras, dan akhirnya membantu sehingga susah dikeluarkan. Kejadian ini berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding saluran cerna akibat penuaan (kegiatan fisik berkurang) serta reduksi asupan cairan dan serat.

5.      Vitamin
Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada Lansia. Beberapa peneliti telah membuktikan terjadinya defisiensi vitamin B, B12, vitamin D dan asam folat. Defisit  vitamin B dikarenakan oleh rendahnya asupan dan kebutuhan akan zat ini lebih tinggi. Sementara vitamin B12 dan asam folat mengalami kekurangan karena asupan berkurang dan gangguan penyerapan (malabsorpsi). Kekurangan vitamin D terjadi karena kekurangan terpaparan dengan sinar matahari, asupan rendah dan sintesis yang menurun akibat usia tua. Hal ini masuk akal karena kebanyakan Lansia Menghabiskan waktu di tempat tidur, baik di rumah sendiri maupun di rumah sakit, atau panti wreda. Disamping itu, ada bukti kalau penyerapan vitamin D pada Lansia berkurang meskipun tidak sedikit literatur membantah pernyataan ini. Kelompok terakhir ini menganggap tidak ada perubahan dalam penyerapan. Lebih dari separuh Lansia mengkonsumsi hanya dua per tiga RDA vitamin D (McGandy, 1986 ). Salah satu faktor yang mempengaruhi status vitamin D Lansia ialah kurang terpajan dengan sinar matahari.
Kekurangan vitamin D pernah dilaporkan terjadi pada Lansia yang dirawat di rumah sakit, atau panti wreda sebesar 55 – 90%, bahkan mereka yang masih sanggup berjalan pun mengalami kekurangan sebanyak 9 – 43%. Ini berarti bahwa asupan sebanyak 200 IU, sesuai anjuran RDA, terlalu rendah. Karena itu, para ahli sangat menganjurkan Penambahan suplementasi sebanyak 400 IU, terlebih bagi mereka yang tak bersentuhan dengan sinar matahari.


Tabel 2 Besaran Kebutuhan Zat Gizi pada Lansia
Sumber : “ Meeting the nutritional needs for older person”. WHO 2002
Jenis Gizi
Besaran
Energi
Protein
Lemak
Lemak jenuh
Air
Kalsium
Besi
Tambaga
Chromium
Magnesium
Selenium
Asam folat
Seng
Vitamin A
Riboflavin
Vitamin B12
Vitamin C
Vitamin D
Vitamin E
Vitamin K
1,4-1,8 kali BMR
0,9-1,1 g/kg BB/hari
30%-35%
£ 8 %
30 cc/kgBB/hari
800-1200 mg/hari
10 mg/hari
1,3-1,5 mg/hari
50 bg /hari
225-180 mg/hari
50-70 bg/hari
400 bg/hari



2,5 bg/hari
60-100 mg/hari
10-20 bg/hari
100-400 IU/hari
60 – 90 mg/hari

2.7      Perencanaan Makanan untuk Lansia
·         Perencanaan Makanan Secara Umum
1.      Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.
2.      Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil.
Contoh menu :
Pagi              : Bubur ayam
Jam 10.00    : Roti
Siang            : Nasi, pndang telor, sup, pepaya.
Jam 16.00    : Nagasari
Malam          : Nasi, sayur bayam, tempe goreng, pepes ikan, pisang. 
3.      Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan dan menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah tinggi.
4.      Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang berlemak seperti santan, mentega dll.
5.      Bagi pasien Lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
·         Makanlah makanan yang mudah di cerna.
·         Hindarilah makanan yang terlalu manis, gurih dan goreng-gorengan.
·         Bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang.
·         Makanan dalam porsi kecil tetapi sering.
·         Makanan selingan atau snack, susu, buah dan sari buah sebaiknya            diberikan.
6.      Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan.
7.      Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur, daging, rendah lemak bayam dan sayuran hijau.
8.      Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang, kurangi makanan yang digoreng.   



·         Perencanaan Makan untuk Mengatasi Perubahan Saluran Cerna
Untuk mengurangi resiko konstipasi dan hemoroid :
1.      Sarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari, seperti sayur-sayuran, buah-buahan segar, roti dan sereal.
2.      Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 8 gelas cairan setiap hari untuk melmbutkan feses.
3.      Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin, karena pasien akan menjadi tergantung pada laktasit.

2.8      Cara Memberi Makanan melalu Mulut (Oral)
1.      Siapkan makanan dan minuman yang akan diberikan.
2.      Posisikan pasien duduk atau setengah duduk.
3.      Berikan sedikit minum air hangat sebelum makan.
4.      Biarkan pasien untuk mengosongkan mulut setelah setiap sendokan.
5.      Selaraskan kecepatan pemberian makan dengan kesiapan pasien, tanyakan pemberian makan terlalu cepat atau lambat.
6.      Perbolehkan pasien untuk menunjukkan perintah tentang makanan pilihan pasien yang ingin dimakan.
7.      Setelah selesai makan, posisi pasien tetap dipertahankan selama + 30 menit.



BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.      Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas.
2.      Proses menua adalah prose menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya.
3.      Berkurangnya kemampuan fungsi tubuh.
4.      Gizi yang cukup meningkatkan status kesehatan Lansia. Jika kurang gizi biasanya dari keluarga dengan status sosial rendah.
5.      Status nutrisi pada Lansia perlu dipantau karena Lansia rentan terkena penyakit.
6.      Keseimbangan energi tergantung pada asupan zat gizi yang dikonsumsi.
7.      Perencanaan makan untuk mengatasi jika terjadi perubahan pada saluran cerna.

3.2    S a r a n
                 Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu menerapkan Asuhan Keperawatan pada Lansia yang mengalami masalah gizi.




DAFTAR PUSTAKA

·         Darmojo, R. Boedhi, dkk. 199. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

·         Gallo, Joseph. 1998. Buku Saku Gerontologi.  Jakarta : EGC.

·         Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.

·         Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4.  Jakarta : EGC.

·         Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC.

·         Paath, Erna Francin, dkk. 2004. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi.             Jakarta : EGC.

·         Prof. Dr. Achmad Djaeni Sediaoetama, MSi. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta : PT. Dian Rakyat.



 

 

0 komentar:

Posting Komentar